Etika Bisnis Islam
1.
Pendahuluan.
Dalam menjalankan aktivitas berbisnis, Perusahaan – perusahaan sangat
gencar dalam melakuka promosi untuk produknya. Hampir setiap hari kita terpapar
dengan ngencarnya promosi – promosi melalui iklan . Iklan dapat dilihat dimana
sajja,. Dengan banyka nya iklan yang menyebar disegala bentuk media promosi,
maka semakin sering kita melihat informasi dari iklan terseebut. Namun kita
perlu cermati pula informasi yang kita lihat dan kita terima sudag disesuaikan dengan
etika bisnis yang ada.
Bisnis
modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut memperngaruhi
dan menentukan kegiatan bisnibb . antara lain faktor organisatoris manajerial,
ilmiah teknologis, dan politik social kultural, Kompleksitas bisnis itu
kegiatan social, bisnis dengann kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai
kegiatan social bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleks masyarakat modern
itu. Semua faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering
dipelajari dan dianalisis melalui pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan
teori manajemen (K. Bertens:2000)
Informasi
melalui iklan yang kita temui tiap harinya, ada yang memenuhi nilai-nilai etika,
ada pula yang tidak. Kita sebagai calon konsumen harus kritis terhadap materi
iklan yang di tampilkan. Materi iklan yang baik adalah materi yang dengan mudah
dikenali dan secara tidak langsung tersimpan dalam alam bawah sadar kita
mengenai produk yang diiklankan tersebut. Berbagai proses kreatif ditampilkan
dalam menyajikan iklan di tiap media. Namun apakah semua sudah sesuai dengan Etika
Pariwara Indonesia (EPI) yang dikeluarkan oleh Dewan Periklanan Indonesia.
2.
Rumusan masalah ?
2.1
Etika
bisnis ?
2.2
Etika
bisnis dalam islam ?
2.3
Aktivitas
Bisnis yang Terlarang dalam Syariah ?
2.4
Etika
Pemasaran ?
3.
Etika Bisnis.
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral
sejauh dipraktikan atau
justru
tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi
adalah
pemikiran
moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan
dan
khususnya
tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi
etika
memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang
dengan
fungsi
dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks
ini
secara
normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk
mengetahui
motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.
Kedua,
etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia
bertindak
seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan
manusia.
Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan
bahasa
yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk
membenarkan
pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang
dikandung
oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat
tanggapan-tanggapan
kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007)
Apa
yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan
keputusan
yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari
atasan-atasan
mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau
moral.
Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat
mendirikan
beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke
arah
etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika
perusahaan
secara
umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah
laku
etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? (Laura Pincus
hartman:1998)
Alasan mengejar keuntungan, atau
lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi
kelangsungan bisnis merupakan
alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku
tidak etis. Dari sudut pandang
etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara
moral keuntungan merupakan hal
yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral
keuntungan memungkinkan
perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya.
Kedua, tanpa memperoleh
keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena
itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang
produktif dalam memacu
pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya
memungkinkan perusahaan survive
melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah
tingkat hidup yang lebih baik.
Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan
(expansi) perusahaan sehingga hal
ini akan membuka lapangan kerja baru.
Dalam mitos bisnis amoral diatas
sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan
pertempuran.
Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan
sasaran
akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara
konstan.
Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat.
Pertanyaan
yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan
dalam
bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan
dengan
tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai etika
bagi
bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan?
Dalam
mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
profesional
di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang
kebanyakan,
ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata
kinerja
pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek
bisnis,
manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek etis.
Kinerja
yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral,
integritas
moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan
mutu,
penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang
berkepentingan
(stakeholders),
yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam
sebuah
perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam
melakukan
praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra,
merupakan
contoh kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis.
Dalam
teori Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama
adalah
Hypernorms
yang berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik &
kesejahteraan,
partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta,
hak-hak
untuk penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia.
Kedua,
Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan
moral,
persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan
hypernorms,
prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai
landasan
dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi,
menghormati
semua kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi
penduduk
lokal, memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat
kerja
yang aman (David J. Frizsche: 1997)
Dalam
semua hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari
kejujuran.
Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai
didalam
bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk
melakukan
persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam
tiap-tiap
kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam
bisnis
mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi
dan
sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan
sepanjang
perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para
pelanggan
tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada
setiap
pelaku atau para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini
akan
berlangsung
secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang
berhasil
dalam masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan
atas
mutu, kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996)
4.
Etika Bisnis Islami.
Etika
bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980
an
dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para teolog
dan
agamawan
yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai
terlibat
dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis
dianggap
sebagai
suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika
Serikat,
akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak
kesepakatan
Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian
besar
negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang
menjadi
sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya.
Jika
kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap
perdagangan
dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang,
dan
agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al
Qur’an
terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang
mencari
kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan
dan
melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat
strategis
di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat
dilihat
pada
sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di
dunia
perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru
mencurigai
tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai
tanggungjawab
manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.
Kunci
etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi
diutusnya
Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak.
Seorang
pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis
Islami
yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya,
dan
akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak
mulia
tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik
bisnis
yang
etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah
kejujuran
(QS:
Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha
senantiasa
terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena
sesungguhnya
kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan
mengantarkan
kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam
menginginkan
seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya
dengan
memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur
yang
melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat
dipercaya,
sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak
ada
iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada
agama
bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah
(tempatnya
di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”
(Hadits).
Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka
kunci
rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan,
mempermudah
urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi
orang
yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).
Konsekuen
terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal
apapun
sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman,
penuhilah
akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu
pasti
diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan
orang
dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga
perkara,
ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia
khianat”
(Hadits).
5. Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah.
1.
Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus
komitmen
dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang
pengusaha
muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang
diharamkan
oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu
melakukan
usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak
halal
atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau
semua
yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe
tempat
bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak,
suguhan
minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al
Maidah;100)
adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
2.
Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik
riba
yang
menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS:
Al
Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan
bisnis
yang
tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar
kemungkinan
akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk
dinikmati
oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi
adalah
perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 –
35).
Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan
berfoya-foya
kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat
tersebut
dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta
dan
bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3.
Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan
dalam
Al-Qur’an
surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian
kamu
dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair
Rasulullah
mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka
dia
telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun
sesorang
yang
melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh
penguasaan
pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai
cara,
seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk
memahalkan
harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar.
Rasulullah
bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan
harga,
niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka
kelak
di hari kiamat”.
4.
Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat
menyebabkan
kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan
percekcokan.
Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran
ketika
kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda
”Apabila
kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”.
Dalam
bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang
dilakukan
sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang
dalam
ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut
dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a)
Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan
oleh
penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang
artis
yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak
mengkonsumsinya.
b)
Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita
saksikan
di
media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor,
atau
kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c)
Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun
produk
lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya
dianggap
menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang
menggunakan
wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk
mereka
dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan
pembelian
terhadap produk mereka.
Model
promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam
sebagai
agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak
dapat
dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus
dikaitkan
dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan
rezeki
yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan
derajatnya
setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara
menyeluruh,
termasuk ’etika jual beli’.
6.
Etika Pemasaran.
Dalam
konteks etika pemasaran yang bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam
Al-Qur’an.
Al-Qur’an memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan
horizontal
(kemanusiaan) dan persyaratan vertikal (spritual). Surat Al-Baqarah
menyebutkan
”Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi
petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa”. Ayat ini dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam
etika marketing:
1.
Allah memberi jaminan terhadap kebenaran Al-Qur’an, sebagai reability product
guarantee.
2.
Allah menjelaskan manfaat Al-Qur’an sebagai produk karyaNya, yakni menjadi
hudan
(petunjuk).
3.
Allah menjelaskan objek, sasaran, customer, sekaligus target penggunaan kitab
suci
tersebut,
yakni orang-orang yang bertakwa.
Isyarat
diatas sangat relevan dipedomani dalam melakukan proses marketing, sebab
marketing
merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan.
Mengambil
petunjuk dari kalimat ”jaminan” yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, maka
dalam
rangka penjualan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang
kita
miliki. Jaminan tersebut mencakup dua aspek:
Aspek material, yakni mutu bahan, mutu pengobatan, dan mutu
penyajian.
Aspek non material, mencakup; ke-Halalan, ke-Thaharahan
(Higienis), dan ke-Islaman
dalam penyajian.
Bahwa
jaminan terhadap kebaikan makanan itu baru sebagian dari jaminan yang perlu
diberikan,
disamping ke-Islaman sebagai proses pengolahan dan penyajian, serta
ke-Halalan,
ke-Thaharahan. Jadi totalitas dari keseluruhan pekerjaan dan semua bidang
kerja
yang ditangani di dalam dan di luar perusahaan merupakan integritas dari
”jaminan”.
Urutan
kedua yang dijelaskan Allah adalah manfaat dari apa yang dipasarkan. Jika ini
dijadikan
dasar dalam upaya marketing, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan
penjelasan
mengenai manfaat produk (ingridients) atau manfaat proses produksi
dijalankan.
Adapun metode yang dapat digunakan petunjuk Allah: ”Beritahukanlah
kepadaku
(berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-orang yang benar”.
(QS:Al-An’am;143).
Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan
seseorang
terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan,
data
dan fakta. Jadi dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya peranan data dan
fakta
sangat penting, bahkan seringkali data dan fakta jauh lebih berpengaruh
dibanding
penjelasan.
Sebagaimana orang yang sedang dalam program diet sering kali
memperhatikan
komposisi informasi gizi yang terkandung dalam kemasan makanan yang
akan
dibelinya.
Ketiga
adalah penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang kita miliki.
Dalam
hal ini kita dapat menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik (halalan
thoyyiban),
yang akan menjadi darah dan daging manusia, akan membuat kita menjadi taat
kepada
Allah, sebab konsumsi yang dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan harus
memenuhi
tiga unsur :
Materi yang halal
Proses pengolahan yang bersih (Higienis)
Penyajian yang Islami
Dalam
proses pemasaran promosi merupakan bagian penting, promosi adalah upaya
menawarkan
barang dagangan kepada calon pembeli. Bagaimana seseorang sebaiknya
mempromosikan
barang dagangannya? Selain sebagai Nabi Rasulullah memberikan teknik
sales
promotion yang jitu kepada seorang pedagang. Dalam suatu kesempatan beliau
mendapati
seseorang sedang menawarkan barang dagangannya. Dilihatnya ada yang
janggal
pada diri orang tersebut. Beliau kemudian memberikan advis kepadanya :
”Rasulullah lewat di depan sesorang yang sedang menawarkan baju dagangannya.
Orang
tersebut
jangkung sedang baju yang ditawarkan pendek. Kemudian Rasululllah berkata;
”Duduklah! Sesungguhnya kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah
mendatangkan
rezeki.” (Hadits).
Dengan
demikian promosi harus dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga menarik
minat
calon pembeli. Faktor tempat dan cara penyajian serta teknik untuk menawarkan
produk
dilakukan dengan cara yang menarik. Faktor tempat meliputi desain interior yang
serasi
yang serasi, letak barang yang mudah dilihat, teratur, rapi dan sebagainya.
Memperhatikan
hadits Rasulullah diatas sikap seorang penjual juga merupakan faktor yang
harus
diperhatikan bagi keberhasilan penjualan. Selain faktor tempat, desain
interior, letak
barang
dan lain-lain.
Kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam Islam posisi pebisnis pada dasarnya
adalah
profesi
yang terpuji dan mendapat posisi yang tinggi sepanjang ia mengikuti koridor
syari’ah.
Muamalah dalam bentuk apapun diperbolehkan sepanjang ia tidak melanggar dalil
syar’i.
Islam melarang seorang Muslim melakukan hal yang merugikan dan mengakibatkan
kerusakan
bagi orang lain sebagaimana disebutkan dalam haditsnya. Rasululllah bersabda :
”La dlaraara wala dliraara” (HR. Ibn Abbas).
Daftar
Pustaka
Bambang
Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan
di Indonesia.
Fritzche
David J, 1997, Business Ethics, A Global and Managerial Perspective, McGraw
Hill
Companies, Inc.
Hadhiri
Choiruddin SP, 1993. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insani Press.
Hermant
Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill
Tim
Multitama Communication, 2006. Islamic Business Strategy for Entrepreneurship,
Zikrul
Media Intelektual.
K.
Bertens, 2000. Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius.
Muhammad
Dawabah Asyraf, 2005. The Moslem Entrepreneur, Kiat Sukses Pengusaha
Muslim,
Zikrul Media Intelektual.
Stewart
David, 1966, Business Ethic, McGraw Hill Companies, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar